Terima kasih untuk kesempatan
mengenalmu,
itu adalah salah satu anugerah terbesar hidupku.
Cinta memang tidak perlu ditemukan,
cintalah yang akan menemukan kita.
Terima kasih. Nasihat lama itu benar sekali.
Aku tidak akan menangis karena sesuatu telah
berakhir, tapi aku akan tersenyum karena sesuatu
itu pernah terjadi.
Masa lalu, Rasa sakit, Masa depan.
Mimpi-mimpi.
Semua akan berlalu, seperti sungai yang
mengalir.
Maka biarlah hidupku mengalir seperti sungai
kehidupan.
(Tentang Kamu – Tere Liye)
Membaca synopsis buku ini
mengingatkan aku tentang kamu. Ya, seperti judul novel itu. Tentang Kamu.
Berawal saat aku mendengar semua pujian tentang kamu dari hampir semua teman
perempuanku. Sang idola, bintang lapangan, pujaan hati, itu sebutan dari mereka
untuk menyamarkan namamu ketika mereka membicarakanmu. Mata yang bersinar,
wajah ceria dan tersipu malu, juga senyum di bibir mereka yang selalu aku lihat
ketika mereka membicarakanmu. Sehebat itukah kamu? Benarkah yang mereka
katakan? Yang aku tahu kamu hanyalah seorang yang multi talent. Memang benar
kamu bisa memainkan segala macam alat musik. Memang benar kamu bisa dan handal
dalam bidang olahraga. Dan satu lagi keahlianmu yang aku lihat, kamu ahli
membuat hati berdebar, memainkan, dan mematahkan hati banyak wanita. Namun aku
tidak tertarik padamu karena bagiku kamu hanyalah seorang anak laki-laki yang sok
keren, sok popular, dan menurutku kamu tidak sehebat yang mereka ceritakan
tentangmu. Kamu hanyalah seorang laki-laki yang menyebalkan, seenaknya sendiri,
dan sok jagoan. Itulah pendapat dan pandanganku tentang kamu dulu. Dan dari
sinilah kisah kita dimulai. Aku sangat ingat waktu itu tengah hari yang cukup
cerah namun angin bertiup cukup kencang, membuatku dan seisi kelasku nyaman
karena kami baru saja selesai mengikuti pelajaran olahraga. Setelah mengganti
baju yang tentu saja para perempuan membicarakan kamu yang katanya kamu baru
saja tiba di sekolah. Mengingat kamu baru akan memulai pelajaran sekolah karena
kamu masuk siang sedangkan aku masuk pagi yang kelas kita pasti akan bertukar
ketika bel berbunyi. Aku hanya ingin cepat mengganti baju bersama beberapa
teman dekatku dan menuju kantin secepatnya karena perut kami yang bergejolak
dan minta diisi setelah lelahnya berolahraga. Setelah aku dan teman dekatku
sesampainya di kantin, kami memilih tempat duduk agak pojok yang kosong dan
cukup untuk kami berempat duduk. Lalu aku tidak memperhatikan keadaan
teman-temanku karena aku tahu mereka sudah duduk tenang dan menunggu aku
selesai order juga pesanan mereka matang. Karena kantin saat itu sungguh ramai,
aku memutuskan untuk menghampiri ibu penjual makanan favorit kami (read:
indomie) dan aku mulai memesan. Setelah selesai memesan, aku kembali ke
teman-temanku dan kami salilng bercanda gurau. Tak lama pesanan kami pun datang
dan kami mulai menyantap makanan itu.
Di tengah kami dengan tenangnya
menyantap indomie kami, kamu pun datang dengan gerombolan teman-temanmu yang
sok jagoan itu. Aku melihat beberapa temanmu mengganggu teman lain, dan kalian
menuju ke arah kami nampaknya ingin memesan menu yang sama. Setelah memesan
dengan sok jagoannya kamu pun mulai berulah dan mengganggu aku juga temanku
untuk mengusir kami karena kamu ingin menempati tempat yang sedang kami
tempati. Teman-temanku mulai resah dan tidak ingin menari keributan sehingga
mereka saling berbisik untuk pindah tempat. Sedangkan saat itu tidak ada lagi
tempat kosong untuk kami. Aku pun pura-pura tidak mendengar apa yang kamu
bicarakan dan juga teman-temanku yang mulai resah. Dan aku menyelesaikan
makanku dengan tenang sampai habis. Kamu pun masih dengan sok jagoannya ngoceh
tak henti-hentinya. Aku pun bangkit berdiri dengan wajah kesal karena kamu
sudah keterlaluan dan aku sedikit menggertakmu
“Emang lo siapa? Yang punya kantin?”
“Lo ga tau siapa gw? Hidup di kutub
lo ya?”
“I don’t care! Sok jagoan, kayak
hebat aja! Sekolah masih dibayarin ortu aja belagu!”
“Heh lo..” aku pun menantang kamu dan
tetap menatap matamu yang menahan kesal. Lalu taklama aku mengajak teman-temanku
yang sudah selesai makan dan kami pun pulang.
Ya, itu awal dari kisah kita. Dan bisa
dikatakan mirip seperti film ftv yang mulai menjamur di salah satu siaran tv
swasta ternama. Namun tidak hanya sampai disitu, kisah kita pun berlanjut. Setelah lulus dari SD aku pikir tidak akan bertemu dengan kamu yang sok jagoan dan sebagainya itu. Aku senang bisa satu kelas dengan teman kecilku bernama Roni untuk melanjutkan perjalanan sekolah menengah pertama alias SMP. Namun Roni memutuskan untuk duduk dibelakangku karena dia sudah bersama dengan teman mainnya waktu SD. Bagiku tidak masalah setidaknya masih banyak teman lain yang ternyata teman saat TK. Dan ternyata teman Roni yang disuguhkan untuk duduk sebangku dengan aku adalah kamu. Awalnya memang tidak berjalan mulus. Selalu saja bertengkar dan adu argumen. Namun seiring berjalannya waktu ditambah adanya tragedi aku tepar selama 1 minggu full, persahabatan kita semakin membaik. Melihat usahamu yang selama 1 minggu itu mencatat segala catatan sekolah juga membantu mengerjakan PR dan tugas-tugasku ditambah setiap hari ke rumahku dan membuat orang tuaku menyukaimu bisa merubah sedikit pandanganku tentangmu. Entah kenapa kedua orang tuaku menilai kamu sangat baik, padahal kalau saja mereka tahu kamu seperti apa rasanya mereka akan tertawa mendengarnya. Tidak hanya kedua orang tuaku, kamu pun bisa menarik perhatian kedua adikku. Setelah meluhat semua yang kamu lakukan lebih dari ketika aku tepar, memang membuatku merubah pandanganku dan mencoba sedikit terbuka denganmu. Lambat laun kamu bisa merubahku secara keseluruhan. Ya, aku memang dibilang sangat tertutup dengan kedua orang tuaku, tidak pernah sedikitpun aku menceritakan kisahku kepada mereka selain nilai dan urusan sekolahku termasuk ekstrakurikuler. Dan kamu bisa merubahku menjadi seseorang yang bisa dengan mudahnya menceritakan kisahku kepada orang tuaku, mengekspresikan perasaanku yang sebelumnya selalu aku simpan dan tutup rapat dari siapapun. Kamu pun membuatku menjadi seorang yang ceria, berani menyampaikan pendapat dan argumenku kepada yang lainnya. Ya, kamu berhasil menyulapku seperti itu dan membuatku terbuka denganmu dan dapat menceritakan segala kisahku kepadamu. Dan aku berpikir juga berpendapat kamu lebih mengenal dan memahamiku dibanding diriku sendiri karena seringnya aku belum menyampaikan apa mauku dan apa maksudku atau apa yang kupikirkan, namun kamu sudah mengetahui dan memahaminya. Persahabatan kita membuat banyak orang jealous dan iri. Tidak sedikit juga yang membicarakan dan penasaran dengan kita. Tidak sedikit juga yang bertanya kepadaku mengenai status kita. Daaaaaan..tidak sedikit juga cewek-cewek yang melabrakku karena jealous, mulai dari teman satu angkatan, kakak kelas, maupun adik kelas. Aku pun merasa tidak ada yang aneh antara kita dan aku masih menganggapmu sebagai sahabat. Teman kecilku yang sekaligus saudaranya Roni yang notabene sebelah rumahku, mengatakan kepadaku apa yang orang lain lihat dan pendapat mereka tentang kita. Mereka bilang bahwa mereka ga percaya kalau kita hanya sebatas sahabat karena yang mereka lihat itu lebih dari sahabat. Aku pun hanya tertawa ketika mendengarnya. Namun dia meyakinkanku dengan wajah sangat seriusnya bahwa dia pun melihat seperti itu. Dia ini teman yang selalu jujur dan apa adanya tidak ada sedikit pun dia pernah berbohong. Dia juga bilang dan bertanya beberapa kali apakah kita pacaran dan aku selalu mengatakan hanya sahabat. Aku pun bingung kenapa dia selalu bertanya hal ini dan dia bilang kalau menurutnya kita berpacaran namun secara dewasa bukan seperti kebanyakan orang yang selalu menunjukkan alias pamer memperkenalkan pacarnya kepada khalayak ramai, yang selalu menunjukkan kemesraannya di hadapan public. Aku pun bertanya kenapa seperti itu? Dan dia mengatakan kamu adalah seorang pria yang sering banget gonta ganti pacar, punya banyak fans, selalu mudah menaklukan hati setiap wanita yang kamu kenal, tetapi caramu memperlakukanku sungguh berbeda dibanding saat kamu memperlakukan pacar kamu sendiri. Dan aku hanya tertawa mendengarnya. Ya memang aku akui kamu rajanya menaklukan hati para wanita itu dan ga sedikit yang menangis juga patah hati dan merasa kamu menyakitinya. Tapi benarkah yang dia bilang? Aku hanya mengatakan dan menagih bukti sehingga dia berbicara seperti itu. Dan dia memberikan bukti itu, kamu rela nyatet catatan full untukku ketika aku sakit dan tidak bisa masuk, kamu rela ujan-ujanan atau panas-panasan sambil nunggu aku selesai mengukuti ekstrakurikuler, kamu rela sampai tertidur karena lama menungguku latihan paskibra atau kegiatan OSIS, kamu betah di perpus cuma demi menemani aku, kamu mau mulai membaca buku yang notabene kamu itu paling anti membaca dan perpus seolah tempat tabu untuk kamu datangi karena kamu sebelumnya rajin ke ruang BP untuk dimarahi dan dihukum dibanding ke perpus. Kamu pun rela bangun pagi untuk Gereja dan misa bareng aku dan keluarga. Dan kamu adalah bukan tipe "morning person" yang menurut kamu pagi itu adalah jam 12 atau 1 siang ketika libur. Kamu selalu menuruti dan mendengar apa yang aku bilang seolah aku pawangnya kamu. Dia juga bilang caramu menatapku, caramu berbicara denganku, caramu memperlakukanku sungguh berbeda seolah aku adalah ratu bagimu. Ketika mendengarnya aku hanya mengernyitkan dahi dan ya memang ada benarnya tapi yang terakhir menurut aku lebay. Kebersamaan ini hanya sebentar karena pertengahan kita kelas 2 SMP kamu tiba-tiba menghilang begitu saja.
Dan aku sangat ingat saat itu pukul 11 siang, Bu Maria guru agama kita memanggilku ke ruang BP. Aku dengan cemas menuju ruang BP dan pertanyaan dalam pikiranku adalah 'Kerusuhan apalagi yang kamu lakukan?' Ternyata pertanyaan itu sirna dan berubah menjadi kesedihan juga marah. Ketika aku dipersilakan duduk, Bu Maria tiba-tiba duduk disebelah aku dan menggenggam tanganku. Firasatku pun mengatakan ini pasti hal sangat buruk yang ingin beliau sampaikan. Dan benar saja firasatku. Bu Maria mengatakan kamu sudah tidak akan lagi bersekolah dan duduk di samping aku. Aku pun juga sudah tidak lagi bisa bercanda dan kegiatan lainnya. Aku melihat jam dinding dan itu pukul 11.15 siang, beliau mengatakan 10.30 pesawat yang akan kamu naiki take off dan kamu pergi ke Bali untuk menemani kakak kamu yang saat ini sedang bermasalah dan memang masalah itu bukan masalah ringan. Sesaat aku terdiam dan taklama air mataku mulai menggenang di kelopak mataku. Bu Maria menyampaikan buku harian kamu kepada aku dan beliau menyampaikan pesan kamu untuk membaca halaman terakhir yang kamu tulis di ruang itu. Baru saja aku membaca 1 kalimat yang kamu tulis, air mata ini mengalir begitu saja. Sedih, merasa sendiri, kehilangan itu semua menjadi satu. Setelah beberapa saat aku terdiam dan berakting membaca tulisan itu yang sebenarnya aku tidak membacanya aku ijin untuk melanjutkan pulang karena jam sudah menunjukkan pukul 12.30 yang artinya 30 menit lalu bel pulang berdentang. Ketika aku keluar ruangan, semua anak-anak ada di depan ruang BP sambil membawakan tasku. Mereka tidak menggunakan seragam dan aku baru mengerti kenapa dari pagi aku tidak melihat mereka. Roni memberanikan diri untuk merangkulku dan aku tepis tangannya karena aku marah pada mereka. Lalu aku diminta duduk oleh Chandra dan dia pun duduk sebelah kananku, Roni menyusul duduk di sebelah kiriku, dan Paul berlutut depanku dan dia menatap dalam mataku dan mengatakan kamu sudah sampai di Bali. Aku hanya diam menatap mereka dalam-dalam. Selain Paul tidak ada yang berani menatapku karena tau apa yang akan terjadi dan apa rasanya menjadi aku. Kami terdiam sesaat dan aku berusaha untuk tetap tenang juga mengontrol diri dan emosiku. Setelah tenang aku hanya berkata "Gw mau pulang." Mereka pun kaget dan tidak menyangka dengan reaksiku. Mereka kira aku akan membentak mereka, marah, dan juga mencaci maki mereka. Roni mengajakku pulang bareng dan aku hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala. Paul menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku pun hanya menggeleng. Deni, Chandra, Petrus pun sama. Mereka jadi berisik dan aku membentak mereka "Gw udah gede, bisa pulang sendiri. Makasih dan kalian bener2 mengecewakan!" Aku pun langsung mengambil tasku di tangan Roni dan berdiri lalu berjalan beberapa langkah. Aku pun balik badan dan memperingatkan mereka, "Ga usah ada yang nganter gw pulang!" Lalu aku pulang. Sesampainya di rumah aku segera ke kamar dan kulihat adikku tidur siang. Mama hanya menatap dan menyapaku tanpa bicara atau bertanya banyak seperti biasa. Aku langsung ke kamar dan ku baca tulisanmu. Tak perlu menunggu lama, airmata ku pun mengalir deras membacanya.
Cuma ada di dalam hati segalanya tentang kamu, dan ga bisa dikeluarin dari hati semua rasa sayang yang aku punya. Jangan pernah berubah! Siapapun kamu, bagaimanapun kamu, dan apapun kamu, kamu tetap dapat bagian di hati aku. Selamanya kamu akan mendapat tempat special di hati aku. Tetaplah ceria dan tersenyum apapun yang terjadi. Cil harus bisa seperti bintang. Aku akan kembali, tunggu aku ya.
Tersentak aku mengingat kejadian kemarin ketika kamu mengajak aku makan usai menonton. Kamu menatap mataku lekat dan dalam, dan aku ingat kata-katamu, "Jangan sedih ya, walaupun kita jauh kalo Cil sedih aku ngerasain sedih juga. Mau kan janji tetep tersenyum? Kalo Cil kangen, lihat aja bintang di langit dan sampaikan aja perasaan Cil. Nti pasti nyampe ke aku. Karena aku juga akan berbuat seperti itu. Cil harus jadi bintang yang selalu menerangi malam yang gelap." Saat itu aku hanya berpikir dan menganggap kamu lagi bercanda dan gombal kelas kakap ala kamu. Menangis menguras tenaga dan aku terbangun karena perutku yang mulai perih. Sayup-sayup aku mendengar suara agak berisik dari luar, dan dengan hitungan detik aku pun sudah tahu siapa pemilik semau suara berisik itu. Setelah mengumpulkan nyawa, aku menuji kulkas karena haus sekali. Ketika membuka kulkas, tiba-tiba semua makanan kesukaanku bertengger dengan manisnya. Astor, Beng Beng, Chiki, Coklat. Aku hanya mengernyitkan dahi dan agak aneh saja rasanya. Ga mungkin mama mau effort banget beli itu semua. Well, aku meneguk jus jambu kesukaanku. Dan ketika membuka freezer pun penuh dengan es krim kesukaanku. Ketika melihatku sedang membuka kulkas, mama pun mengingatkan untuk makan terlebih dahulu sebelum mencolek yang ada di kulkas. Ketika aku ke meja makan, ada pasta 1 porsi kesukaanku dan beberapa box pizza. Kulihat di ruang keluarga mereka (Paul, Roni, mama, papa, adik-adikku, Deni, Petrus, dan Candra sedang asik bermain monopoli. Aku pun mengambil pasta dan duduk di sofa sambil menonton tivi. Tak lama mama, papa dan adik-adik pergi entah kemana. Aku pun juga tidak berniat menghabiskan pasta itu dan aku meletakkannya di meja ruang tivi. Petrus, Deni, Roni dan Candra masih sibuk bermain monopoli. Tiba-tiba Paul duduk di sebelahku sambil menatapku dan memberikan isyarat untuk menyenderkan kepalaku di bahunya. Aku hanya diam dan menatapnya lekat.
"Oke, kita salah. Maaf. Maaf banget." Tanpa aku mengatakan pun Paul sudah mengerti apa yang harus disampaikan dan aku masih menatapnya.
"Oke, jadi ini emang permintaan Ronald. Dia yang minta untuk ga bilang ke lo. Dia ga sanggup pergi kalo liat lo nangis." Aku pun hanya diam menatapnya.
"Ini berat banget buat dia. Lo pasti ngerti dan jauh lebih paham." Pandanganku mulai kabur karena air mata yang memaksa untuk keluar dan masih tidak kuijinkan.
"Kenapa?" tanyaku pelan.
"Ini cuma sebentar kok. Biar kakaknya sembuh, dia pasti balik buat lo." Lalu Paul pun langsung memelukku.
"Masih ada kita kok. Lo ga sendiri. Okay?" Taklama aku merasa pipiku dingin, ternyata Roni menempelkan es krim kesukaanku di pipi. Aku pun tak lama tersenyum dan memang benar, ini pasti cuma sebentar. Toh masih ada mereka dka disini. Mereka pun menghiburku dan mereka bisa membuatku tersenyum.
Setelah malam tiba, mama, papa, adikku pun pulang dan emrekapun pulang dan mereka ijin untuk pulang. Adikku cerita aktifitasnya dan mengatakan bahwa kamu yang mengisi kulkas di rumah juga memberlikan pasta kesukaanku. Sebelum tidur aku makan es krim dan menatap bintang di langit 'Nald, kamu lagi apa? Makasih ya buat isi kulkas juga pastanya. Cepat pulang ya.' batinku.